PetunjukHidup.com- Bukan keluarga cemara, tetapi keluarga merupakan satu hubungan erat yang tidak terpisahkan. Baik itu hubungan antara, suami-istri; orangtua-anak; kakak-adik dalam sebuah keluarga. Namun, hubungan keluarga memang erat antara orangtua dan anak. Begitu juga hubungan antara keluarga besar. Meskipun terpisah jarak, usia dan perbedaan. Keluarga BESAR tetaplah keluarga; ada kalanya bisa bersama dan juga perselisihan satu dengan yang lain.

 
Kali ini Penulis ingin menceritakan kisah PERJALANAN keluarga besar yang juga dalam satu keluarga juga ada keluarga berencana. Kita berkumpul dalam suatu momen special yakni PERNIKAHAN adik sepupu yang tinggal di Jawa, khususnya Kediri. Ini tidak direncanakan bisa berkumpul semua seperti ini, setelah belasan tahun tidak pernah berjumpa.

Perjalanan Keluarga dari Tanjungpinang ke Kediri


Penulis tinggal di Kota Tanjungpinang, Pulau Bintan; sedangkan beberapa keluarga besar masih menetap di kota Balikpapan dan ada yang merantau ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kita berencana akan reuni, sekaligus menghadiri pesta pernikahan adik sepupu yang sudah pindah ke Kota Kediri. Dari Kota Tanjungpinang ke Kediri membutuhkan perjalanan yang sangat PANJANG dan MELELAHKAN, tentunya.


Sama halnya dengan perjalanan HIDUP yang penuh liku, tetapi nikmat di jalani. Kami (Mom, kakak, Penulis dan adik) harus berangkat pagi dari rumah menuju pelabuhan Sri Bintan Pura yang terletak di zero Kilometer Tanjungpinang. Jarak dari rumah ke Pelabuhan membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Kemudian dilanjutkan naik kapal feri menuju Kota Batam, dan dilanjutkan ke bandara. Diperikirakan waktu yang dibutuhkan sekitar 1 jam 20 menit.

Berhubung barang bawaan kami ini sangat banyak, jadi kami harus memesan dua taksi. Sampai di bandara Batam kita mengurus semua urusan bagasi. Kebetulan terbang menggunakan citilink jadinya dapat free bagasi. Meskipun sempat terjadi kekesalahan sebelum keberangkatan beberapa pekan lalu. Harga tiket Penulis lebih mahal dibanding Kakak dan Adik, kesal banget kan. Penulis kira, beli tiket sebelum hari H lebih awal sekitar sebulan atau dua bulan pemesanan bakalan lebih MURAH. Nyatanya lebih MAHAL dan itu, sangat menyakitkan hati. Entah, sistem jual beli tiket seperti apa.

Singkat cerita, akhirnya kami pun terbang dengan segala was-was, kala itu issue covid-19 sudah mulai terdengar. Kami pun membawa perlengkapan seperti menggunakan masker, vitamin, dan cairan sanitasi untuk tangan.

Keluarga Terbang Bersama Citilink


Sayang sekali citilink tidak bisa check in online untuk mendapatkan tempat duduk seperti GARUDA. Mungkin, dikarenakan penambahan biaya untuk mendapatkan tempat duduk. Ya sudahlah, baru kali ini tidak melakukan check in online untuk mendapatkan seat. Akhirnya, tempat duduk terpisah, hanya Penulis dan Mama yang duduk sederet. 

Awalnya ragu karena adik Penulis baru pertama kali naik PESAWAT. Apa dia baik-baik saja duduk dibelakang. Rupanya, begitu pesawat mendarat, dia baik-baik saja. Harga dalam pesawat Citilink lumayan juga untuk pop mie 25,000 dan secangkir kopi 15,000 untuk mengisi rasa bosan di dalam pesawat selama kurang dari dua jam.

Keluarga Kebersamaan dan Perselisihan
Kala itu cuaca cerah dari Batam, tetapi begitu tiba di Surabaya cuaca berubah sedikit kelabu. Lumayan juga goncangan kala itu ketika mendarat. Bandara Surabaya lumayan nyaman. Meskipun toiletnya tidak sebanyak Jakarta, jika naik GARUDA di Terminal 3 hahaha.  Harganya saja sudah BEDA, masa mau dibandingkan!

Miscommunication antara Keluarga

Kami harus menunggu lama di bandara untuk menanti jemputan keluarga yang akan membawa kami ke Kediri. Dalam sebuah keluarga, apalagi dalam pertemuan keluarga besar dan beberapa tamu lainnya yang juga datang di hari yang sama, tentunya KOMUNIKASI menjadi suatu yang harus lancar. Namun, miscommunication antara keluarga itu tidak ada yang SALAH dan BENAR, jika ada toleransi bersama.

Rupanya, mereka sudah tiba di bandara dan sedang duduk cantik di sebuah café. Bersama beberapa tamu undangan lainnya. Kami harus menunggu sejam lebih untuk mengetahui rupanya mereka sudah tiba juga dan masih menanti keluarga lain yang pesawatnya kala itu memilih menggunakan LION AIR dari Balikpapan ke SURABAYA. Pasalnya, kala itu pesawat itu yang hari itu ada direct antara kota minyak dan kota terbesar kedua, setelah JAKARTA.

Tidak disangka pertemuan belasan tahun terpisah antara JARAK, terpecahkan. Suasana tidak kaku, cair dan saling berbagi cerita dan menyantap makanan ringan di salah satu café di Bandara Surabaya sambil menanti teman yang lain. Rasa rindu, rasa bahagia dan rasa sukacita bercampur menjadi satu. Rasanya sama enaknya dengan es cendol yang PENULIS pesan. Walaupun terasa manis sekali es cendolnya. Namun, tetap campurannya itu rasa bahagia.

Surabaya mulai menunjukan kepedihan dan kegembiraan. Cairan pun turun dari langit yang bernama hujan. Antara malam dan gelapnya langit kala hujan tercampur menjadi satu. Terpisah antara satu dengan yang lain untuk dipertemukan kembali di KEDIRI. Ya, ada beberapa kendaraan untuk menghantar kami ke Kota Kediri, kota kelahiran Mama Penulis ini.

Identitas Nama Keluarga

Mama Penulis yang terbiasa di gereja Advent Tanjungpinang yang mayoritasnya adalah suku BATAK. Dimana terbiasa memanggil nama orang dengan sebutan nama anak, tentunya menjadi asing bagi keluarga yang tidak dominan dengan hal tersebut.

 
Mama beberapa kali memanggil salah satu mantu dari adik sepupu Penulis dengan sebutan Bapaknya Audry, tentu saja tidak dijawab. Bukan karena SOMBONG, apalagi tidak PEDULI. Namun, pastinya terdengar ASING dan ANEH.
Akhirnya Penulis beritahu Mama untuk memanggilnya nama saja, sebab sistem di sini tidak sama dengan sistem ala Batak yang ada di Kota Tanjungpinang terlalu kental sekali. Sejujurnya, Penulis pun tidak terlalu suka sistem tersebut. Bayangkan saja, seorang perempuan bisa kehilangan identitasnya (baca: nama) karena harus dipanggil dengan sebutan nama suaminya atau kalau sudah memiliki anak, nama anaknya. 

Bagi Penulis identitas nama keluarga itu penting, tetapi tidak menghilangkan hak nama perempuan. Entah, bagi suku lain mungkin itu suatu kebanggaan disebutkan nama suami dan menghilangkan nama istri. Bagi, Penuli itu suatu hal yang tidak MENYENANGKAN. Mending dipanggil nama sang istri dan diikuti nama suami, itu lebih baik. Hal ini yang selalu dilakukan di kota besar seperti gereja BATU AMPAR; mereka selalu menyebutkan nama perempuan dan kemudian nama suami; misalnya Vita Klavert. Hal itu lebih enak didengar bukan?
Keluarga Kebersamaan dan Perselisihan

Perjalanan panjang pun akhirnya berakhir untuk sementara waktu. Kami pun tiba di KEDIRI tanpa kekurangan suatu apapun. Meskipun kebanyakan penumpang dalam mobil tertidur, kecuali Penulis, Mama dan driver alias Reza yang wajib buka mata untuk membawa mobil menuju kota gudang garam. Beberapa kali Mama mencoba mengingat kenangan tiap jarak yang dilewati, ini sudah sampai di sini kah? Ah, rupanya sudah banyak yang berubah. Lha, jelas saja lah! Mama sudah sekitar 50 tahunan tidak pernah pulang ke kota kelahirannya. Kali ini dia pulang dengan membawa MISI untuk berjumpa dengan teman lamanya, apakah Mama Penulis berhasil?



Salam dan Tetaplah Hidup










Note: Please visit my blog to storycitra.com | Jejakcantik.com | kitabahagia.com 
 Chitchat.my.id | Asiabutterflytraveler.com




Kehidupan ini tidaklah semudah membayangkan, tidak semudah meluangkan dalam kata. Mari berkunjung dan menikmati tiap hempasan nafas kehidupan untuk mencari makna kehidupan bersama.....








Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

Petunjuk Hidup membutuhkan komen berupa kritik dan saran agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup. Ingat! Komentar di moderasi jadi tidak boleh spammy ya, rumahku indah dan rumahmu juga indah bukan? mongo dan terima kasih, dank jewel, danke, thanks, mercy