Menyalakan Harapan Lewat Kisah Damai
Petunjukhidup.com-Tidak semua anak
tumbuh dengan cerita indah sebelum tidur. Sebagian dari mereka tumbuh di tengah suara ledakan,
sirine, dan amarah manusia yang tidak mereka mengerti. Mereka mengenal perang lebih dahulu daripada
kedamaian, dan belajar bersembunyi lebih cepat daripada bermain di taman. Bahkan, permainan petak
umpet bukan lah sekedar mainan, melainkan harus bersembunyi untuk menyelamatkan
diri .
Di tengah dunia yang
keras seperti itu, dongeng hadir bukan sekadar hiburan—melainkan pelukan
lembut bagi jiwa yang ketakutan. Ada satu kisah
sederhana tentang kebaikan, keberanian, dan persahabatan bisa menyalakan cahaya
kecil di hati anak-anak yang nyaris padam oleh trauma. Melalui
cerita, mereka belajar bahwa dunia tidak selalu gelap; selalu ada tempat untuk
harapan, dan masih ada orang-orang baik yang menjaga.
Bagi seorang anak
kecil dari Maluku bernama Eklin Amtor De Fretes , dongeng
bukan hanya cerita masa lalu. Dia menjadikannya jembatan antara luka dan harapan,
antara masa lalu yang kelam dan masa depan yang penuh warna. Dari kisah
hidupnya sendiri yang bersentuhan dengan konflik Ambon, Eklin menemukan
kekuatan dalam cerita, kekuatan untuk memaafkan, merangkul, dan menebarkan
damai. Dengan cerita, Eklin berkeliling dari desa
ke desa, membawa satu pesan sederhana namun berdaya besar yakni, “Perdamaian
bisa dimulai dari satu dongeng kecil.”
Masa Kecil di Tengah Konflik
Eklin kecil tumbuh di
Masohi, Maluku Tengah, ketika daerah itu dilanda konflik berdarah di akhir
tahun 1990-an. Saat itu, dia masih berusia tujuh
tahun ketika kerusuhan pecah. Teror, amarah, dan ketakutan menjadi bagian dari
keseharian banyak keluarga. Rumah terbakar, orang-orang mengungsi, dan suara
tangis anak-anak menjadi latar hari-hari yang penuh duka. Meskipun dia selamat, banyak sahabatnya tidak seberuntung itu. Salah satu temannya
harus bersembunyi di rumah tetangga berbeda agama untuk bertahan hidup.
Peristiwa itu menorehkan luka yang dalam. Namun juga menanamkan pelajaran penting di hati kecil Eklin: bahwa kebaikan tidak pernah memilih agama. Justru di tengah kekacauan, dia melihat bagaimana tetangga-tetangga saling melindungi tanpa memandang keyakinan. Kenangan masa kecil itu membekas kuat. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi alasan untuk berpisah.
Namun bertahun-tahun
kemudian, Dia menyadari bahwa bayang-bayang konflik masih tersisa. Banyak anak di Maluku tumbuh mendengar kisah perang dari orang tua mereka, kisah yang kadang hanya diceritakan dari satu sisi. “Dari cerita
itulah prasangka mulai tumbuh,” katanya suatu kali. Sebab itu, Eklin menemukan misinya.
Dongeng Sebagai Jembatan Perdamaian
Eklin percaya, cara paling lembut untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah dengan cerita. Ketika dia berkuliah di Universitas Kristen Indonesia Maluku, ia memperdalam nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Tahun 2016, ia mendapat pelatihan dari Living Values Education Indonesia, yang mengajarkan metode pendidikan berbasis nilai kasih dan empati.
Dari pengalaman itu, Elkin sadar bahwa banyak konflik justru lahir dari kurangnya pemahaman dan
komunikasi. “Kalau orang bisa saling mendengarkan, banyak masalah bisa selesai tanpa
pertikaian,” ujarnya.
Namun Eklin ingin
lebih dari sekadar dialog. Ia ingin menanam nilai-nilai perdamaian sejak
anak-anak masih kecil. Dan di situlah ia menemukan jawabannya dongeng.
Belajar Mendongeng Demi Damai
Eklin mulai belajar
mendongeng secara otodidak. Dia menonton video para pendongeng di YouTube,
mempelajari teknik berbicara, ekspresi, dan bahkan ventriloquist, seni
berbicara tanpa menggerakkan bibir. Untuk menemani penampilannya, ia membuat boneka kecil
yang diberi nama Dodi, singkatan dari Dongeng Damai.
“Dodi membuatku lebih
percaya diri,” katanya sambil tertawa. “Kalau aku gugup, Dodi yang bicara
duluan.” Bersama Dodi, Eklin mulai berkeliling dari desa ke desa di Maluku. Dia bercerita di sekolah, taman, bahkan di tempat-tempat ibadah.
Memulai rencana pada awalnya, tentu tidak mudah! Di beberapa daerah, Elkin sempat ditolak karena dicurigai membawa misi agama
tertentu. Tetapi, dengan kesabaran dan ketulusan, dia akhirnya diterima.
Elkin bercerita bukan tentang satu agama, tetapi tentang kemanusiaan. Tentang anak
yang menolong temannya, tentang laut yang mengajarkan kerja sama, tentang
pelangi yang memeluk semua warna tanpa membeda-bedakan.
Dongengnya sederhana, tetapi dampaknya nyata. Anak-anak tertawa, guru-guru terharu, dan orang tua
mulai melihat bahwa perdamaian bisa diajarkan lewat cerita.
Dongeng Damai Menyatukan yang Terpisah
Salah satu momen
paling mengharukan terjadi di Pulau Seram. Eklin datang ke dua desa yang dahulu bermusuhan: Desa
Saleman dan Desa Horale. Selama bertahun-tahun, kedua desa ini hidup terpisah
karena konflik lama. Tidak ada lagi sapaan, tidak ada lagi kerja sama.
Hari itu, Eklin tampil
bersama Dodi di hadapan warga dari dua desa itu. Dia mendongeng
tentang dua sahabat yang sempat bertengkar tetapi akhirnya saling memaafkan
demi menanam pohon bersama. Cerita itu sederhana, namun saat dia menutup dongeng, air mata banyak yang jatuh. Penduduk dari
dua desa itu saling berpelukan. “Sudah terlalu lama kita lupa bahwa kita bersaudara,”
ujar salah satu tokoh adat dengan suara bergetar.
Itu adalah momen yang
tak akan pernah dilupakan Eklin. Dia sadar, satu cerita bisa menyembuhkan luka yang
bahkan waktu sulit hapuskan.
Menulis, Mengajar, dan Terus Menebar Cahaya
Semangat Eklin tidak berhenti
di panggung dongeng. Dia menulis buku berjudul “Mari Belajar Mendongeng
Kisah-Kisah Damai,” berisi belasan dongeng ciptaannya sendiri. Buku itu
menjadi alat belajar bagi guru dan orang tua yang ingin mengajarkan nilai-nilai
perdamaian pada anak-anak.
Pada tahun 2020, dia resmi menjadi pendeta, tetapi perannya sebagai pendongeng tak berhenti. Dia tetap membawa Dodi ke mana pun pergi — bahkan di atas mimbar gereja. Setiap minggu,
dia menyelipkan satu kisah kecil tentang cinta, pengampunan, dan keberanian
dalam khotbahnya.
Tahun yang sama, Eklin
menerima Penghargaan SATU Indonesia Award dari PT Astra International di bidang
pendidikan. Penghargaan itu menjadi pengakuan bahwa langkah kecilnya lewat dongeng
telah menyalakan cahaya besar di tanah Maluku. Namun bagi Eklin, penghargaan bukan tujuan. “Hadiah
sesungguhnya,” katanya, “adalah ketika anak-anak bisa tertawa bersama tanpa
takut siapa yang duduk di sampingnya.”
Menjaga Dongeng Tetap Hidup
Kini, Eklin dan
komunitasnya terus berkeliling Maluku, mengadakan Dongeng Damai Roadshow di sekolah, panti asuhan, hingga kampung terpencil. Di juga melatih guru-guru agar bisa mendongeng dengan nilai-nilai cinta damai
di kelas mereka.
Bagi Eklin, mendongeng
bukan hanya tentang suara dan boneka, tetapi tentang menyembuhkan generasi. Dia ingin
memastikan anak-anak Maluku tumbuh dengan cerita yang menenangkan, bukan
menakutkan.
Kesimpulan Cahaya dari Timur
Perjalanan Eklin Amtor
De Fretes membuktikan bahwa kebaikan bisa
disebarkan lewat hal paling sederhana dari sebuah cerita. Di tengah dunia yang penuh perpecahan dan berita
buruk, ia datang membawa harapan dalam bentuk dongeng.
Dia mungkin tidak memegang senjata atau jabatan tinggi, tetapi
lewat suara dan bonekanya, dia memadamkan api kebencian satu cerita demi satu. Dan di setiap
mata anak yang berbinar mendengarnya, Eklin tahu: perjuangannya tidak sia-sia. Selama masih
ada anak yang mau mendengar, dongeng tak akan pernah mati.
Jadilah orang pertama yang berkomentar!
Petunjuk Hidup membutuhkan komen berupa kritik dan saran agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup. Ingat! Komentar di moderasi jadi tidak boleh spammy ya, rumahku indah dan rumahmu juga indah bukan? mongo dan terima kasih, dank jewel, danke, thanks, mercy